Senin, 06 Juni 2011

Legenda Telaga Pasir


Telaga Pasir atau yang lebih dikenal Telaga Sarangan adalah salah satu obyek wisata air di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga seluas 30 hektar dengan kedalaman 30 meter ini tepatnya berada di kaki Gunung Lawu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan atau sekitar 18 kilometer arah barat Kota Magetan. Menurut cerita, awalnya telaga ini berupa ladang milik seorang petani bernama Kyai Pasir. Suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa yang menimpa Kyai Pasir dan istrinya yang mengakibatkan ladang mereka berubah menjadi telaga. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Telaga Pasir berikut ini!
* * *
Di suatu tempat di kaki Gunung Lawu, Magetan, hiduplah sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tepi hutan. Meskipun hanya terbuat dari kayu dan beratapkan dedaunan, gubuk mungil itu sudah cukup aman bagi Kyai Pasir dan istri tercintanya dari gangguan binatang liar. Dinding gubuk itu terdiri dari susunan kulit kayu yang diikatkan pada tiang kayu dengan menggunakan rotan. Di antara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar dan masuk ke dalam gubuk.
Pekerjaan sehari-hari Kyai Pasir adalah petani ladang. Dari hasil ladang itulah ia dan istrinya dapat bertahan hidup, walaupun hanya pas-pasan. Ladang milik Kyai Pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari, lelaki tua yang sudah mulai renta itu berangkat ke ladang dengan membawa kapak. Ia bermaksud membabat hutan untuk membuat ladang baru di dekat ladang miliknya. Ketika hendak menebang salah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebutir telur besar berwarna putih tergeletak di bawah pohon itu.
“Hai, telur binatang apa itu?” gumamnya dengan heran.
Kyai Pasir amat penasaran terhadap telur besar itu. Ia pun mengambil telur itu seraya mengamatinya dengan seksama.
“Ah, tidak mungkin ini telur ayam. Mana ada ayam berkeliaran di tempat ini?” Kyai Pasir kembali bergumam, “Lagi pula, telur ini lebih besar dari telur ayam.”
Kyai Pasir tidak mau pusing memikirkan itu telur binatang apa. Baginya, telur itu adalah lauk yang enak jika dimasak. Oleh karena itu, ia hendak membawa pulang telur itu untuk lauk makan siang bersama istrinya di rumah. Ketika hari menjelang siang, ia pun membawa pulang sambil telur itu dan menyerahkannya kepada istrinya.
“Bu, tolong masak telur itu untuk makan siang kita!” ujar Kyai Pasir.
“Wah, besar sekali telur ini. Baru kali ini aku melihat telur sebesar ini,” ujar Nyai Pasir dengan heran saat menerima telur itu, “Dari mana telur ini, Pak?”
Kyai Pasir pun menceritakan bagaimana ia menemukan telur itu. Setelah itu, ia kembali meminta istrinya agar segera memasak telur itu karena sudah kelaparan. Ia juga sudah tidak sabar ingin segera menyantap telur itu. Namun, sang istri masih saja terus bertanya kepadanya mengenai telur itu.
“Ini telur binatang apa, Pak?” tanya Nyai Pasir.
“Sudahlah, Bu. Tidak usah banyak tanya!” ujar Kyai Pasir mulai kesal. “Cepatlah kamu masak telur itu, perutku sudah keroncongan!”
Nyai Pasir pun cepat-cepat membawa telur itu ke dapur untuk dimasak. Sambil menunggu telur matang, Kyai Pasir merebahkan tubuh sejenak karena kecapaian. Tak berapa lama kemudian, istrinya pun selesai memasak.
“Pak, hidangan makan siang sudah siap. Mari, makan dulu!” ajak Nyai Pasir.
Kyai Pasir pun beranjak dari tidurnya. Ia bersama istrinya segera menyantap telur itu dengan lahap. Telur rebus tersebut mereka bagi dua sama rata. Usai makan siang, Kyai Pasir kembali ke hutan untuk melanjutkan pekerjaannya. Di tengah perjalanan, ia masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi. Namun, ketika ia sampai di ladang, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit, panas, dan kaku. Matanya pun mulai berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia pun merintih kesakitan.
“Aduh, kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku sakit begini,” ratap Kyai Pasir.
Semakin lama, rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Kyai Pasir pun tidak mampu menahan rasa sakit itu sehingga rebah ke tanah dan berguling-guling ke sana kemari. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seluruh tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga yang besar. Sungutnya amat tajam dan keras. Wujudnya pun amat mengerikan. Kyai Pasir yang telah menjelma menjadi seekor naga jantan itu terus berguling-guling tanpa henti.
Pada saat yang bersamaan, Nyai Pasir yang berada di rumah juga mengalami nasib yang sama. Rupanya, telur yang telah mereka tadi adalah telur naga. Nyai Pasir yang merasa sekujur tubuhnya terasa sakit segera berlari ke ladang untuk meminta tolong kepada Kyai Pasir. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di ladang. Ia mendapati suaminya telah berubah menjadi naga yang menakutkan. Ia pun hendak melarikan karena ketakutan. Namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, istri Kyai Pasir itu pun rebah dan berguling-guling di tanah. Tak lama kemudian, seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik hingga akhirnya berubah menjadi seekor naga betina.
Kedua naga itu berguling-guling sehingga tanah di sekitarnya berserakan dan membentuk cekungan seperti habis digali. Lama-kelamaan, cekungan tanah itu semakin luas dan dalam. Setelah itu, muncullah semburan air yang amat deras dari dasar cekungan tanah itu. Semakin lama semburan air itu semakin deras sehingga cekungan itu dipenuhi air dan berubah menjadi telaga.
Oleh masyarakat setempat, telaga itu dinamakan Telaga Pasir yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai Pasir. Namun, karena lokasinya berada di Kelurahan Sarangan sehingga telaga ini biasa juga disebut Telaga Sarangan.
***
Demikian cerita Legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur. Hingga saat ini, legenda ini masih digemari oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Magetan. Kini, Telaga Pasir atau Sarangan ini menjadi salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Magetan.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda di atas adalah bahwa hendaknya kita lebih berhati-hati dan lebih teliti sebelum mengambil sesuatu yang belum kita ketahui asal usulnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Jaka Budug dan Putri Kemuning



Jaka Budug adalah seorang pemuda miskin yang mengidap penyakit budug (sejenis penyakit kudis). Sebab itulah ia dipanggil dengan nama Jaka Budug. Meskipun kondisinya demikian, Jaka Budug berhasil menikahi seorang putri raja. Bagaimana Jaka Budug dapat menikahi putri raja itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Jaka Budug dan Putri Kemuning berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Ngawi, Jawa Timur, tersebutlah seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia mempunyai seorang putri yang rupawan bernama Putri Kemuning. Sesuai namanya, tubuh sang Putri sangat harum bagaikan bunga kemuning.
Suatu hari, Putri Kemuning tiba-tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba-tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Sang Prabu menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda yang mau menikahi putrinya itu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh baginda, seperti memberikan putrinya obat-obatan tradisional berupa daun kemangi dan beluntas, namun penyakit sang putri belum juga sembuh. Sang Prabu juga telah mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan sang Putri.
Hati Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan.
Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat baginda larut dalam semedi, tiba-tiba terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.
“Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah daun sirna ganda. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu.
Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun untuk mengadakan sayembara.
“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,” ujar Sang Prabu di depan rakyatnya.
Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja.
Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug. Jaka Budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh penyakit budug. Penyakit aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meski demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Namun, ia merasa malu dengan keadaan dirinya.
Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu.
Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu.
“Ampun, Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri,” pinta Jaka Budug.
Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah.
“Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu.
“Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu.
Pada mulanya, Prabu Aryo Seto ragu-ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya.
“Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang Prabu.
Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya.
Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati-hati. Begitu ia mendekat, tiba-tiba naga itu menyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi-tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat sedikit kewalahan. Lama-kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis.
Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari penyakit budug.
Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Seketika itu pula seluruh badannya menjadi bersih dan halus. Tak sedikit pun bintik-bintik merah yang tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan.
Setelah memetik beberapa lembar daun sirna ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setibanya di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya berseri-seri. Sang Prabu hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, barulah Sang Prabu percaya dan terkagum-kagum.
Jaka Budug kemudian mempersembahkan daun sirna ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Sungguh ajaib, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan daun sirna ganda itu. Kini, tubuh Sang Putri kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning.
Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Selang berapa lama setelah mereka menikah, Prabu Aryo Seto meninggal dunia. Setelah itu, Jaka Budug pun dinobatkan menjadi pewaris tahta Kerajaan Ringin Anom. Jaka Budug dan Putri Kemuning pun hidup berbahagia.
* * *
Demikian cerita legenda Jaka Budug dan Putri Kemuning dari daerah Ngawi, Jawa Timur. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah keutamaan sifat pemberani dan pandai menepati janji. Sifat pemberani ditunjukkan oleh Jaka Budug yang tidak gentar melawan naga sakti. Berkat keberaniannya, ia berhasil mengalahkan naga itu dan mengambil daun sirna ganda untuk mengobati penyakit Sang Putri. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:
 
wahai ananda banyakkan amal,
berani dengan gunakan akal
berbuat baik menari bekal
supaya mati tidak menyesal
Sementara itu, sifat pandai menepati janji terlihat pada sikap Prabu Aryo Seto yang menikahkan Jaka Budug dengan Putri Kemuning.

Jaka Seger dan Rara Anteng



Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur, Indonesia. Legenda yang mengisahkan tentang percintaan antara Jaka Seger dan Rara Anteng ini menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma (Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku Tengger, yaitu sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap setahun sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan upacara yang dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka Seger dan Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.
* * *
Alkisah, di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk menunggu istrinya yang akan melahirkan anak kedua mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang meninggalkan negerinya dan membuat sebuah dusun di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan hatinya diselimuti perasaan cemas melihat istrinya terus merintih menahan rasa sakit.
Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.
“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan Raja Majapahit itu.
“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih terbaring lemas.
“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar! Dia bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang mungil di depan istrinya.
Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia mendapat anak. Mereka pun memberi nama bayi itu Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang diam atau tenang.  
Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang tidak jauh dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat keras sehingga memecah kesunyian malam di lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan segar.
Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan Rara Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar hingga ke mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan Jaka Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada orang lain.
Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo. Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya kebingungan untuk menolak pinangannya. Sementara Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mampu menandingi kesaktian raksasa itu.
Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh raksasa itu.
“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara Anteng.
“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima dengan nada membentak.
Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup. Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk menghilangkan rasa gugupnya.
“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu semalam, aku akan menerima pinanganmu,” ujar Rara Anteng.
Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu dan menganggap bahwa persyaratan itu sangatlah mudah baginya.
“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?” tanya raksasa itu dengan nada angkuh.
“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng mengingatkan raksasa itu.
Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal lelah.
Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal beberapa kali kerukan lagi.
“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas, “raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?”  
Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk membakar jerami, sedangkan kaum perempuan diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera menghentikan pekerjaannya membuat danau yang sudah hampir selesai itu.
“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”
Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya segera dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok. Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu menjelma menjadi sebuah kawah yang juga masih dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.
Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru yang diberi nama Tengger. Nama desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger (Ger). Mereka pun hidup berbahagia.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga, tiba-tiba muncul keresahan di hati mereka.
“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Padahal kita sudah mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada istrinya.
“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.
Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25 anak, aku berjanji akan mempersembahkan seorang di antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung Bromo.”
Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-tiba api muncul dari dalam tanah di kawah Gunung Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun diketahui sedang mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian, buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Kebahagiannya pun semakin sempurna ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan lagi anak kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar dua dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak mereka berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa hamba!” ucap Jaka Seger.
Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi semua anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama Dewa Kusuma. Karena terlena dalam kebahagiaan, ia lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun menegurnya melalui mimpi.
“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah seorang putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara itu dalam mimpi Jaka Seger.
Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari mimpinya.
“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-putriku yang harus kupersembahkan, padahal aku sangat menyayangi mereka semua?”
Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan seluruh putra-putrinya dalam sebuah pertemuan keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun serempak berubah menjadi pucat pasi. Apalagi ketika dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati muda,” sahut anak sulungnya keberatan.
“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya akan binasa,” jelas Jaka Seger.
Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi penjelasan ayahandanya.
“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan di kawah Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.
Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai keberanian dan kerelaan untuk dijadikan persembahan.
“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa Kusuma?” tanya ayahnya.
“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi menyelamatkan dusun ini dan seluruh isinya,” jawab Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu permintaan.”
“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.
Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma pun diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan diiringi isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal Desa Tengger terhindar dari bencana.
* * *
Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki garis tengah lebih kurang 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat) ini telah menjadi obyek wisata menarik di kawasan Gunung Bromo. Untuk mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma, masyarakat suku Tengger melaksanakan upacara persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara yang juga merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan Kasada (kepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Pesen moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban demi kebahagiaan kedua orang tua dan demi keselamatan masyarakat umum. Sifat ini tergambar pada sifat dan perilaku Dewa Kusuma yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan keluarga dan seluruh penduduk Desa Tengger dari kebinasaan.

Ande Ande Lumut


Ande Ande Lumut adalah nama samaran seorang pangeran yang bernama asli Panji Asmarabangun dari Kerajaan Jenggala. Menurut cerita, Panji Asmarabangun melakukan penyamaran karena ingin mencari istrinya yang telah pergi meninggalkan istana. Mengapa istri Panji Asmarabangun pergi dari istana? Lalu, berhasilkah Asmarabangun menemukan istrinya? Ikuti kisahnya dalam cerita Ande Ande Lumut berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Jawa Timur, Indonesia, berdirilah dua buah kerajaan kembar, yaitu Kerajaan Jenggala yang dipimpin oleh Raja Jayengnegara dan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Jayengrana. Menurut cerita, dahulunya kedua kerajaan tersebut berada dalam satu wilayah yang bernama Kahuripan. Sesuai dengan pesan Airlangga sebelum meninggal, kedua kerajaan tersebut harus disatukan kembali melalui suatu ikatan pernikahan untuk menghindari terjadinya peperangan di antara mereka. Akhirnya, Panji Asmarabangun (putra Jayengnegara) dinikahkan dengan Sekartaji (Putri Jayengrana).
Pada suatu ketika, Kerajaan Jenggala tiba-tiba diserang oleh kerajaan musuh. Di saat pertempuran sengit berlangsung, Putri Dewi Sekartaji melarikan diri dan bersembunyi ke sebuah desa yang jauh dari Jenggala. Untuk menjaga keselamatan jiwanya, ia menyamar sebagai gadis kampung dan mengabdi kepada seorang janda yang kaya raya bernama Nyai Intan. Nyai Intan mempunyai tiga orang putri yang cantik dan genit. Mereka adalah Kleting Abang (sulung), Kleting Ijo, dan Kleting Biru (bungsu). Oleh Nyai Intan, Dewi Sekartaji diangkat menjadi anak dan diberi nama Kleting Kuning.
Di rumah Nyai Intan, Kleting Kuning selalu disuruh mengerjakan seluruh perkerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Ia sering dibentak oleh Nyai Intan dan diperlakukan tidak senonoh oleh ketiga kakak angkatnya. Bahkan, ia terkadang diberi makan sehari satu kali oleh ibu angkatnya.
Sementara itu, di Kerajaan Jenggala, Panji Asmarabangun bersama pasukannya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Namun, ia sangat sedih karena istrinya telah pergi meninggalkan istana Jenggala dan tidak ditahui keberadaannya.
Setelah keadaan di Kerajaan Jenggala kembali tenang dan aman, sang Pangeran memutuskan untuk mencari istrinya. Namun sebelum itu, ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari jejak kepergian istrinya. Suatu sore, ketika ia sedang duduk di pendopo istana, datanglah seorang pengawalnya untuk menyampaikan laporannya.
“Ampun, Baginda! Hamba ingin menyampaikan berita gembira untuk Baginda,” lapor pengawal itu.
“Apakah kamu telah mengetahui keberadaan istriku?” tanya Panji Asmarabangun dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda! Hamba hanya menemukan seorang gadis yang mirip dengan isti Baginda di sebuah dusun. Namun, hamba belum yakin dia itu istri Baginda, karena ia hanya seorang gadis kampung yang bekerja sebagai pembantu pada seorang janda kaya,” jelas pengawal itu.
Mendengar laporan itu, sang Pangeran pun memutuskan untuk menyamar menjadi seorang pangeran tampan yang sedang mencari jodoh. Keesokan harinya, berangkatlah ia bersama beberapa orang pengawalnya ke Desa Dadapan yang berada di dekat Sungai Bengawan Solo, Lamongan. Desa itu berseberangan dengan desa tempat tinggal Kleting Kuning.
Di desa itu, Panji Asmarabangun menyamar dengan nama Ande Ande Lumut dan tinggal di rumah seorang janda tua bernama Mbok Randa. Beberapa hari kemudian, ia pun memerintahkan para pengawalnya agar pengumuman sayembara mencari jodoh itu segera disebarkan kepada seluruh pelosok desa. Dalam waktu singkat, berita tentang pelaksanaan sayembara itu tersebar hingga ke desa seberang, desa tempat tinggal Kleting Kuning.
Betapa senangnya hati Kleting Abang, Ijo, dan Biru mendengar kabar itu. Mereka akan berdandan sencantik-cantiknya untuk menaklukkkan hati sang Pangeran Tampan, Ande Ande Lumut.
“Asyik… Asyik...!!! Kita akan berdandan secantik-cantiknya. Kalau salah seorang di antara kita menjadi putri raja, ibu pasti akan senang,” kata Kleting Abang.
Pada hari sayembara itu dimulai, Kleting Abang, Ijo, dan Biru pun segera berdandan dengan sangat mencolok. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan perhiasan yang indah. Saat mereka sedang asyik berdandan, Kleting Kuning mendekati mereka.
“Wah, kalian cantik sekali!” puji Kleting Kuning.
“Hai, Kleting Kuning! Apakah kamu ingin mengikuti sayembara juga?” tanya Kleting Abang.
“Ah, tidak mungkin! Baju pun kamu tak punya. Apakah kamu mau ikut sayembara dengan baju seperti itu?” sahut Kleting Ijo dengan mencela.
“Benar, kamu tidak pantas ikut sayembara ini! Lebih baik kamu di rumah mengurus semua pekerjaanmu. Ayo, pergilah ke sungai mencuci semua pakaian kotor itu!” seru Kleting Biru sambil menunjuk ke pakaian ganti mereka yang sudah kotor.
Kleting Kuning segera mengumpulkan pakaian kotor itu lalu pergi ke sungai. Sebenarnya, ia pun tidak tertarik untuk mengikuti sayembara itu, karena ia masih teringat kepada suaminya, Panji Asmarabangun. Ia akan selalu setia kepada suaminya meskipun belum mendengar kabar tentang keadaannya apakah masih hidup atau sudah tewas dalam peperangan. Ketika ia sedang mencuci di sungai, tiba-tiba seekor burung bangau datang menghampirinya. Anehnya, burung bangau itu dapat berbicara layaknya manusia dan kedua kakinya mencengkram sebuah cambuk.
“Wahai, Tuan Putri! Pergilah ke Desa Dedapan mengikuti sayembara itu! Di sana Tuan Putri akan bertemu dengan Panji Asmarabangun. Bawalah cambuk ini! Jika sewaktu-waktu Tuan Putri membutuhkan pertolongan, Tuan Putri boleh menggunakannya,” ujar sang burung bangau seraya meletakkan cambuk itu di atas batu di dekat Kleting Kuning.
Belum sempat Kleting Kuning berkata apa-apa, burung bangau itu sudah terbang ke angkasa dan seketika itu pula menghilang dari pandangan mata. Tanpa berpikir panjang lagi, Kleting Kuning pun segera kembali ke rumah dan bersiap-siap berangkat menuju Desa Dadapan.
Sementara itu, ketiga saudara dan ibu angkatnya telah berangkat terlebih dahulu. Kini mereka telah sampai di tepi Sungai Bengawan Solo. Mereka kebingungan, karena harus menyeberangi sungai yang luas dan dalam itu, sementara tak satu pun perahu yang tampak di tepi sungai.
“Bu, bagaimana caranya kita menyeberangi sungai ini?” tanya Kleting Ijo kebingungan.
“Iya, Bu! Apa yang harus kita lakukan?” tambah Kleting Biru.
“Hai, coba lihat itu! Makhluk apa itu?” seru Kleting Abang.
Betapa terkejutnya Nyai Intan dan ketiga putrinya ketika mengetahui bahwa makhluk itu adalah seekor kepiting raksasa yang sedang terapung di atas permukaan air. Menurut cerita, kepiting raksasa yang bernama Yuyu Kangkang itu adalah utusan Ande Ande Lumut untuk menguji para peserta sayembara yang melewati sungai itu.
“Hai, Kepiting Raksasa! Maukah kamu membantu kami menyeberangi sungai ini?” pinta Kleting Abang.
Yuyu Kangkang tertawa lebar.
“Ha... ha... ha...!!! Aku akan membantu kalian, tapi kalian harus memenuhi satu syarat,” ujar Yuyu Kangkang.
“Apakah syaratmu itu, hai Kepiting Raksasa? Katakanlah!” desak Kleting Ijo. “Apapun syaratmu, kami akan memenuhinya asalkan kami dapat menyeberangi sungai ini.”
“Kalian harus menciumku terlebih dahulu sebelum aku mengantar kalian ke seberang sungai,” kata Yuyu Kangkang.
Akhirnya, Kleting Abang dan kedua adiknya menerima persyaratan Yuyu Kangkang. Satu persatu mereka mencium si Yuyu Kangkang. Setelah itu, Yuyu Kangkang pun mengantar mereka ke seberang sungai. Selang beberapa saat kemudian, Kleting Kuning juga tiba di tepi sungai. Ketika Yuyu Kangkang mengajukan persyaratan yang sama, yaitu meminta imbalan ciuman, Kleting Kuning menolaknya. Ia tidak ingin menghianati suaminya. Meski ia tidak mau memenuhi syarat itu, ia tetap memaksa si Yuyu Kangkang untuk membantunya menyeberangi sungai. Berkali-kali Kleting Kuning memohon, namun kepiting raksasa itu tetap menolak, kecuali Kleting Kuning mau memenuhi syarat itu.
Kleting Kuning pun mulai habis kesabarannya. Ia segera memukulkan cambuknya ke sungai dan seketika itu pula air Sungai Bengawan Solo menjadi surut. Melihat hal itu, Yuyu Kangkang menjadi ketakutan dan segera menyeberangkan Kleting Kuning, dan bahkan sekaligus mengantarnya hingga sampai di Desa Dadapan.
Setibanya di rumah Nyai Intan, Kleting Kuning bertemu dengan ketiga saudara dan ibu angkatnya. Tak berapa lama kemudian, sayembara pun dimulai. Secara bergiliran, Kleting Abang dan kedua adiknya menunjukkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya di hadapan Ande Ande Lumut. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang dipilih oleh Ande Ande Lumut. Melihat hal itu, Nyai Intan pun berlutut memohon kepada Ande Ande Lumut agar memilih salah satu putrinya untuk dijadikan permaisuri.
“Ampun, Pangeran! Hamba mohon, terimahlah salah seorang dari ketiga putriku ini! Kurang cantik apalagi mereka dengan dandanan yang sebagus itu?” iba Nyai Intan.
Ande Ande Lumut hanya tersenyum.
“Memang benar, ketiga putri Nyai cantik semua. Tapi, aku tetap tidak akan memilih seorang pun dari mereka,” kata Ande Ande Lumut tanpa memberikan alasan.
“Pengawal! Tolong panggilkan gadis yang berbaju kuning itu kemari!” seru Ande Ande Lumut sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang duduk paling belakang.
Rupanya, gadis yang ditunjuk oleh Ande Ande Lumut itu adalah Kleting Kuning. Ketika Kleting Kuning menghadap kepadanya, pangeran tampan itu bangkit dari singgasananya.
“Aku memilih gadis ini sebagai permaisuriku,” kata Ande Ande Lumut.
Betapa terkejutnya semua orang yang hadir di tempat itu, terutama Nyai Intan dan ketiga putrinya.
“Ampun, Pangeran! Kenapa Pangeran lebih memilih gadis yang tak terurus itu dari pada ketiga putriku yang cantik dan menarik ini?” tanya Nyai Intan ingin tahu.
Ande Ande Lumut kembali tersenyum, lalu berkata:
“Wahai, Nyai Intan! Ketahuilah, aku tidak memilih seorang pun dari putrimu, karena mereka ‘bekas’ si Yuyu Kangkang. Aku memilih gadis ini, karena dia lulus ujian, yakni menolak untuk mencium si Yuyu Kangkang,” jelas Ande Ande Lumut.
Mendengar penjelasan itu, Nyai Intan dan ketiga putrinya baru sadar bahwa mereka ditolak oleh Ande Ande Lumut karena tidak lulus ujian. Sementara itu, Kleting Kuning masih kebingungan, karena belum menemukan suaminya. Namun, setelah Ande Ande Lumut membongkar penyamarannya bahwa dirinya adalah Panji Asmarabangun, barulah Kleting Kuning sadar. Dengan cambuk sakti pemberian si burung bangau, ia segera mengubah dirinya menjadi seorang putri yang cantik jelita. Panji Asmarabangun baru sadar ternyata Klenting Kuning adalah istrinya, Dewi Sekartaji. Akhirnya, sepasang suami istri yang saling mencintai itu bertemu kembali dan hidup berhagia. Sebagai ucapan terima kasih kepada Mbok Randa, Panji Asmarabangun membawanya serta tinggal di istana Jenggala. Sementara Nyai Intan dan ketiga putrinya kembali ke desanya dengan perasaan kecewa dan malu.
* * *
Demikian cerita Ande Ande Lumut dari daerah Lamongan, Jawa Timur. Cerita di atas tergolong dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pada tokoh Kleting Abang, Ijo, dan Biru dapat digambarkan bahwa mereka adalah gadis-gadis cantik yang tidak pandai menjaga harga dirinya, karena menerima persyaratan Yuyu Kangkang. Akibatnya, mereka pun tidak dipilih Ande Ande Lumut untuk menjadi permaisuri. Dari sini dapat dipetik pelajaran untuk tidak menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Pada tokoh Ande Ande Lumut atau Panji Asmarabangun dapat digambarkan bahwa dia seorang suami yang penyayang dan setia kepada istrinya. Berbagai usaha yang dilakukannya agar dapat menemukan kembali istrinya, meskipun harus menyamar dan tinggal di desa bersama seorang janda tua. Demikian pula pada tokoh Kleting Kuning atau Dewi Sekartaji, dapat digambarkan bahwa dia seorang wanita yang sabar, setia, dan tidak mau tergoda dengan lelaki lain, meskipun ia jauh dan tidak mengetahui keadaan suaminya, apakah masih hidup atau sudah mati. Berkat kesabaran dan kesetiaannya, Dewi Sekartaji dapat bertemu kembali dengan suaminya, dan mereka pun hidup bahagia. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa kesetiaan senantiasa harus selalu dijaga agar tercipta hubungan yang harmonis dan bahagia dalam kehidupan rumah tangga. 

Damarwulan dan Minakjingga


Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta sayembara ini adalah seorang pemuda bernama Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali, bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu. Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak, kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak, “Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku, gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun, akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,” kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?” tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,” janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung. Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan. Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua orang yang bersaudara itu adalah putra Patih Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu. Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat menenentukan siapa di antara mereka yang benar. Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas. Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh kekuatan masing-masing demi memenangkan pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga ini telah diangkat dalam film layar lebar.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita ini antara lain, pertama, sikap suka ingkar janji akan menimbulkan dampak yang buruk, seperti sikap ingkar janji Ratu Ayu Kencana Wungu mengakibatkan pecahnya peperangan antara Majapahit dan Blambangan. Kedua, sifat jahat, yakni suka merampas hak orang lain, terlihat pada perilaku Layang Seta dan Layang Kumitri yang merampas hak Damarwulan sebagai pemenang sayembara. Akibatnya, kedua orang licik itu pun masuk penjara.